Kebesaran-Nya dan Janji itu
“Nda, kamu lulus!” Setengah berteriak seorang teman menyeruak dari
kerumunan orang-orang yang mencari namanya dalam daftar lulus ujian saringan
masuk CPNS yang tertempel di dinding KUA kecamatan.
“Ah, mana mungkin…!” batinku. Selama ini yang ku tahu harus pakai
uang. Kegagalan tahun lalu masih terus menghantuiku. Gagal karena tak ada uang.
Walaupun ada, rasanya tak rela bila anak-isteriku harus makan dari penghasilan
yang bukan hak ku.
Ujian CPNS kali ini kalau bukan karena kakak ku yang menggebu-gebu
ikut, rasanya malas juga. Berhubung urusan persyaratan administrasi pendaftaran
diselesaikan olehnya, ya, oke lah. Tinggal aku yang kebagian tugas mengajar 6
kelas sendirian selama beberapa hari.
Dengan harap-harap cemas aku mulai memasuki pelataran KUA.
Pandanganku tertuju pada lembaran-lembaran kertas yang terpampang.
Alhamdulillah, benar kata teman, aku lulus!
“Allahu akbar…Allahu akbar.” Tak henti mulutku bergumam. Tanpa
terasa airmata menggenang di pelupuk mata.
Teringat protesku pada Tuhan akibat himpitan ekonomi dan ambang
putus asa hadapi realitas hidup. Rumah bilik
dan sumur yang harus menumpang, hutang yang menjalar sana-sini, macetnya
SPP dari murid yang tak seberapa.Harapan, ya, harapan terbayar dari Bantuan
Khusus Guru (BKG) yang tak utuh atau stimulan gubernur lima puluh ribu rupiah
perbulan yang dibayarkan pertahun dan kadang telat. Untuk sekedar bernafas, aku
harus bolak-balik ke rumah orangtua tiap sabtu petang. Entah apa jadinya bila
ujian kali ini tidak lulus. Mungkin seperti dulu, libur panjang sekolah menjadi
buruh bangunan atau pabrik, dan anak-isteriku sementara kutitipkan di rumah
orang tua.
“Ya, Allah…! Ramadhan ini bulan suci mu. Malam ini adalah rajanya
malam. Aku hamba mu yang lemah, kenapa cobaan ini berat ku pikul? Izinkan lah
aku sekedar bisa memperbaiki rumah yang mulai keropos. Sumur agar tidak
merepotkan tetangga. Juga satu lagi, ya Allah…! Komputer agar aku bisa leluasa
menulis.”
“Ya, Allah …! Tunjukkan bukti kekuasaan mu. Pecahkan lah tempurung
orang-orang yang ber-kkn ria di tengah derita rakyat. Jadikan lah ujian CPNS di
pemerintahan baru ini benar-benar milik mu. Bukan karena tangan-tangan kotor
biang kesusahan zamrud khatulistiwa. Luluskan lah hamba mu ini, ya, Allah…!”
sujud ku seiring kumandang azan subuh.
“Hei, Nda. Ngelamun aja. Gembira dong!” Seorang teman menepuk
pundak ku.
“Iya, nih. Ayo kita rayakan di warung padang!” Sela teman ku yang
lain.
“Nda selamat, ya! Inget waktu sama-sama kuliah, ente sering ana
bonceng. Jangan sampai lupa kacang sama kulitnya, ya!” Muksin teman
seperjuangan selama kuliah D2 dulu menimpali.
Teman-teman berkumpul mengelilingiku. Aku hanya bisa menjawab
singkat, insya Allah.
Selang beberapa saat tak ada yang berkata-kata. Masing-masing sibuk
memikirkan langkah hidup kedepan dan acara makan yang tadi di gagas pun hilang.
Selain tak punya uang, semua sibuk dengan urusannya masing-masing.
“Nda, ayo pulang. Nunggu apa lagi?” kakak ku sudah siap dengan
sepeda motornya. Setelah berpamitan dengan teman-teman, kami meninggalkan halaman
KUA kecamatan.
Sepanjang perjalanan pulang kakak ku bercerita panjang lebar
mengungkapkan segala perasaannya. Tentang kegembiraannya melihatku lulus
menjadi obat penawar kekecewaan atas kegagalannya dalam ujian CPNS, tentang
optimisme nya untuk terus ikut ujian sampai berhasil, dan yang aku salut
dedikasinya dalam mendidik putra harapan bangsa tak pernah luntur.
Laju sepeda motor terasa lamban. Bekas-bekas ban pengangkut batu
gunung dan pasir menyisakan kelupas aspal. Guyuran hujan semalam telah membuat
adonan lumpur di sebagian belahan jalan. Tragis memang, tetapi itulah
kenyataannya. Kekayaan perut bumi yang terus digerus tak serta merta jalanan
menjadi mulus. Sama halnya dengan nasib pribumi.
Di sini pula lah ikrar terucap. Di kiri-kanan perkebunan karet, di
jalanan yang juga penyaksi lenyapnya batang-batang karet yang menjelma
perumahan atau warung-warung pinggir jalan. “Ya, Rabb. Bila hamba lulus, hamba
ingin mendirikan MTs. agar anak-anak remaja tanggung desa hamba turut mengenyam
pendidikan. Minimal sampai jenjang SLTP dan mampu membekali diri mereka
menghadapi tantangan hidup yang semakin kompleks. Rabb. Kabulkanlah do’a ku,
aamiin.” Begitu terus berulang sepanjang perjalanan ke kecamatan di seling
Yaasin dan Waqi’ah yang tak lepas dari bibir.
Sebulan dua bulan berita penugasan tak juga terdengar. Hutang di
warung kian membengkak. Tak jarang pemilik warung masam melayani berhutang.
Gali lubang sampai ada kepastian melaksanakan jabatan.
Dua bulan berlalu, dan ikrar pada Tuhan pun harus segera dilaksanakan.
Buat proposal, Alhamdulillah dapat untuk membuat spanduk dan brosur yang di
pasang di jalanan desa dan warung-warung tepi jalan. Semua ini berkat bantuan
dan saran sesama pendidik yang ingin kemajuan desanya.
Dan liburan pun usai sudah. Jelang tahun ajaran baru hanya tujuh
orang yang mendaftar.
“Buat apa sekolah di sana? Izinnya saja belum ada. Siapa yang
ngajar? Darimana bayar honornya?” Nada-nada sumbang berbaur dengan
ketakberdayaanku.
Allah maha besar. Ada 22 anak desa ku yang mendapat Kartu Bebas
Biaya Sekolah (KBBS) dari pemerintah tetapi tidak mau melanjutkan sekolah ke
SMP Negeri karena jauhnya jarak dan kondisi ekonomi keluarga yang kurang mampu
dilimpahkan ke sekolah kami yang baru berdiri. Berita pun menyebar seiring
gaung media massa dan elektronik tentang sekolah gratis. Sekolah gratis, dapat
baju dapat kaos, dapat sepatu dan buku, dan dapat uang jalan. hampir seratusan
siswa yang berasal dari anak-anak desa yang baru lulus dan drop out (DO)
setahun dua tahun masuk sekolah. Malah ada seorang anak yang melewati batas
usia sekolah memaksa masuk.
Sebuah angka fantastis untuk sekolah yang baru berdiri. Sayang tidak
bertahan lama. Tak ada lagi penjual gorengan di samping sekolah dan gelak tawa
anak-anak dan guru-gurunya sewaktu istirahat. Menghilang seiring kebijakan dari
SMP Negeri yang tadinya mengizinkan sekolah kami membuka kelas jauh lalu
berubah mengharuskan anak-anak sekolah di sana.
Apa yang terjadi kemudian?
Sepertiga bertahan, sepertiga lebih ke SMP Negeri, dan selebihnya
entah di mana. Mungkin kembali menjalani keseharian mereka berpeluh membantu
orangtua.
30-an anak yang bertahan. Alhamdulillah, mantra-mantra harus
sekolah di SMP Negeri, dapat baju dapat kaos, dapat segala tidak berpengaruh. Nyanyian
perkutut jangan sekolah di MTs., harus bayaran, ujian ke mana?, ilegal, tidak
membuat mereka manut.
Kini, perjuangan dari nol. Bapak-bapak guru yang batal puasa
menghilang satu persatu. Anak-anak mulai bosan di ajar karena sehari-hari mereka hanya bertemu guru yang itu-itu saja. Babak
belur mencari guru yang sanggup keringatnya tidak dibayar. Dan aku, harapan
dari sedikit gaji CPNS kiranya bisa meliter BBM awan tuan guru, aamiin.
Bogor, 04 Oktober 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar