Selasa, 27 Oktober 2015

Kebesaran-Nya dan Janji itu



Kebesaran-Nya dan Janji itu
“Nda, kamu lulus!” Setengah berteriak seorang teman menyeruak dari kerumunan orang-orang yang mencari namanya dalam daftar lulus ujian saringan masuk CPNS yang tertempel di dinding KUA kecamatan.
“Ah, mana mungkin…!” batinku. Selama ini yang ku tahu harus pakai uang. Kegagalan tahun lalu masih terus menghantuiku. Gagal karena tak ada uang. Walaupun ada, rasanya tak rela bila anak-isteriku harus makan dari penghasilan yang bukan hak ku.
Ujian CPNS kali ini kalau bukan karena kakak ku yang menggebu-gebu ikut, rasanya malas juga. Berhubung urusan persyaratan administrasi pendaftaran diselesaikan olehnya, ya, oke lah. Tinggal aku yang kebagian tugas mengajar 6 kelas sendirian selama beberapa hari.
Dengan harap-harap cemas aku mulai memasuki pelataran KUA. Pandanganku tertuju pada lembaran-lembaran kertas yang terpampang. Alhamdulillah, benar kata teman, aku lulus!
“Allahu akbar…Allahu akbar.” Tak henti mulutku bergumam. Tanpa terasa airmata menggenang di pelupuk mata.
Teringat protesku pada Tuhan akibat himpitan ekonomi dan ambang putus asa hadapi realitas hidup. Rumah bilik  dan sumur yang harus menumpang, hutang yang menjalar sana-sini, macetnya SPP dari murid yang tak seberapa.Harapan, ya, harapan terbayar dari Bantuan Khusus Guru (BKG) yang tak utuh atau stimulan gubernur lima puluh ribu rupiah perbulan yang dibayarkan pertahun dan kadang telat. Untuk sekedar bernafas, aku harus bolak-balik ke rumah orangtua tiap sabtu petang. Entah apa jadinya bila ujian kali ini tidak lulus. Mungkin seperti dulu, libur panjang sekolah menjadi buruh bangunan atau pabrik, dan anak-isteriku sementara kutitipkan di rumah orang tua.
“Ya, Allah…! Ramadhan ini bulan suci mu. Malam ini adalah rajanya malam. Aku hamba mu yang lemah, kenapa cobaan ini berat ku pikul? Izinkan lah aku sekedar bisa memperbaiki rumah yang mulai keropos. Sumur agar tidak merepotkan tetangga. Juga satu lagi, ya Allah…! Komputer agar aku bisa leluasa menulis.”
“Ya, Allah …! Tunjukkan bukti kekuasaan mu. Pecahkan lah tempurung orang-orang yang ber-kkn ria di tengah derita rakyat. Jadikan lah ujian CPNS di pemerintahan baru ini benar-benar milik mu. Bukan karena tangan-tangan kotor biang kesusahan zamrud khatulistiwa. Luluskan lah hamba mu ini, ya, Allah…!” sujud ku seiring kumandang azan subuh.
“Hei, Nda. Ngelamun aja. Gembira dong!” Seorang teman menepuk pundak ku.
“Iya, nih. Ayo kita rayakan di warung padang!” Sela teman ku yang lain.
“Nda selamat, ya! Inget waktu sama-sama kuliah, ente sering ana bonceng. Jangan sampai lupa kacang sama kulitnya, ya!” Muksin teman seperjuangan selama kuliah D2 dulu menimpali.
Teman-teman berkumpul mengelilingiku. Aku hanya bisa menjawab singkat, insya Allah.
Selang beberapa saat tak ada yang berkata-kata. Masing-masing sibuk memikirkan langkah hidup kedepan dan acara makan yang tadi di gagas pun hilang. Selain tak punya uang, semua sibuk dengan urusannya masing-masing.
“Nda, ayo pulang. Nunggu apa lagi?” kakak ku sudah siap dengan sepeda motornya. Setelah berpamitan dengan teman-teman, kami meninggalkan halaman KUA kecamatan.
Sepanjang perjalanan pulang kakak ku bercerita panjang lebar mengungkapkan segala perasaannya. Tentang kegembiraannya melihatku lulus menjadi obat penawar kekecewaan atas kegagalannya dalam ujian CPNS, tentang optimisme nya untuk terus ikut ujian sampai berhasil, dan yang aku salut dedikasinya dalam mendidik putra harapan bangsa tak pernah luntur.
Laju sepeda motor terasa lamban. Bekas-bekas ban pengangkut batu gunung dan pasir menyisakan kelupas aspal. Guyuran hujan semalam telah membuat adonan lumpur di sebagian belahan jalan. Tragis memang, tetapi itulah kenyataannya. Kekayaan perut bumi yang terus digerus tak serta merta jalanan menjadi mulus. Sama halnya dengan nasib pribumi.
Di sini pula lah ikrar terucap. Di kiri-kanan perkebunan karet, di jalanan yang juga penyaksi lenyapnya batang-batang karet yang menjelma perumahan atau warung-warung pinggir jalan. “Ya, Rabb. Bila hamba lulus, hamba ingin mendirikan MTs. agar anak-anak remaja tanggung desa hamba turut mengenyam pendidikan. Minimal sampai jenjang SLTP dan mampu membekali diri mereka menghadapi tantangan hidup yang semakin kompleks. Rabb. Kabulkanlah do’a ku, aamiin.” Begitu terus berulang sepanjang perjalanan ke kecamatan di seling Yaasin dan Waqi’ah yang tak lepas dari bibir.
Sebulan dua bulan berita penugasan tak juga terdengar. Hutang di warung kian membengkak. Tak jarang pemilik warung masam melayani berhutang. Gali lubang sampai ada kepastian melaksanakan jabatan.
Dua bulan berlalu, dan ikrar pada Tuhan pun harus segera dilaksanakan. Buat proposal, Alhamdulillah dapat untuk membuat spanduk dan brosur yang di pasang di jalanan desa dan warung-warung tepi jalan. Semua ini berkat bantuan dan saran sesama pendidik yang ingin kemajuan desanya.
Dan liburan pun usai sudah. Jelang tahun ajaran baru hanya tujuh orang yang mendaftar.
“Buat apa sekolah di sana? Izinnya saja belum ada. Siapa yang ngajar? Darimana bayar honornya?” Nada-nada sumbang berbaur dengan ketakberdayaanku.
Allah maha besar. Ada 22 anak desa ku yang mendapat Kartu Bebas Biaya Sekolah (KBBS) dari pemerintah tetapi tidak mau melanjutkan sekolah ke SMP Negeri karena jauhnya jarak dan kondisi ekonomi keluarga yang kurang mampu dilimpahkan ke sekolah kami yang baru berdiri. Berita pun menyebar seiring gaung media massa dan elektronik tentang sekolah gratis. Sekolah gratis, dapat baju dapat kaos, dapat sepatu dan buku, dan dapat uang jalan. hampir seratusan siswa yang berasal dari anak-anak desa yang baru lulus dan drop out (DO) setahun dua tahun masuk sekolah. Malah ada seorang anak yang melewati batas usia sekolah memaksa masuk.
Sebuah angka fantastis untuk sekolah yang baru berdiri. Sayang tidak bertahan lama. Tak ada lagi penjual gorengan di samping sekolah dan gelak tawa anak-anak dan guru-gurunya sewaktu istirahat. Menghilang seiring kebijakan dari SMP Negeri yang tadinya mengizinkan sekolah kami membuka kelas jauh lalu berubah mengharuskan anak-anak sekolah di sana.
Apa yang terjadi kemudian?
Sepertiga bertahan, sepertiga lebih ke SMP Negeri, dan selebihnya entah di mana. Mungkin kembali menjalani keseharian mereka berpeluh membantu orangtua.
30-an anak yang bertahan. Alhamdulillah, mantra-mantra harus sekolah di SMP Negeri, dapat baju dapat kaos, dapat segala tidak berpengaruh. Nyanyian perkutut jangan sekolah di MTs., harus bayaran, ujian ke mana?, ilegal, tidak membuat mereka manut.
Kini, perjuangan dari nol. Bapak-bapak guru yang batal puasa menghilang satu persatu. Anak-anak mulai bosan di ajar karena sehari-hari  mereka hanya bertemu guru yang itu-itu saja. Babak belur mencari guru yang sanggup keringatnya tidak dibayar. Dan aku, harapan dari sedikit gaji CPNS kiranya bisa meliter BBM awan tuan guru, aamiin.
                                                                                                Bogor, 04 Oktober 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar